Senin, 30 Mei 2011

manajemen sumber daya manuisa

PERKEMBANGAN BEBERAPA PENDEKATAN MANAJEMEN KINERJA
Manajemen kinerja adalah suatu proses yang dirancang untuk meningkatkan kinerja organisasi, kelompok dan individu yang digerakkan oleh para manajer. Proses ini lebih didasarkan pada prinsip manajemen berdasarkan sasaran (management by obyective) daripada manajemen berdasarkan perintah, meskipun hal tersebut juga mencakup kebutuhan untuk menekankan pada harapan kinerja yang tinggi melalui kontrak semacam itu.
Secara khusus manajemen kinerja ditujukan untuk meningkatkan asperk-aspek kinerja yang meliputi:
1) Sasaran yang dicapai: Manajemen kinerja membantu mengintegrasikan sasaran organisasi, kelompok dan individu, terutama dalam mengomunikasikan sasaran dan mengedepankan nilai-nilai organisasi.
2) Kompetensi yang meliputi pengetahuan, keterampilan dan sikap: manajemen kinerja memiliki kompetensi untuk menjadi alat bagi pencapaian perubahan budaya dan perilaku serta merupakan suatu cara memberrdayakan karyawan dengan memberikan kendali yang lebih besar atas pekerjaan mereka dan pengembangan diri pribadi mereka sendiri.
3) Efektifitas kerja: manajemen kinerja juga dapat dijadikan dasar bagi penentuan upah/gaji yang terkait dengan kinerja.
Manajemen kinerja telah bangkit dari sistem penilaian “merit rating” dan “management-by-objectives (MBO)” yang telah lama ada. Banyak di antara perkembangan terbaru dalam penilaian kinerja (performance appraisal) telah diserap ke dalam konsep manajemen kinerja, yang dijadikan suatu proses manajemen yang lebih luas, lebih lengkap dan lebih alami.
Sistem untuk menilai, memberikan reward dan pengembangan SDM sebagai jantung manajemen SDM. Evaluasi kinerja telah digunakan sebagai unsur yang esensial bagi efektifitas Manajemen Sumber Daya Manusia (MSDM) dalam organisasi.
Latar belakang historis manajemen kinerja akan dibahas dalam tulisan berikut, sehingga memberikan gambaran dan wawasan yang lebih luas di dalam mempelajari aspek manajemen kinerja.
A. “Merit-rating” Sebagai Teknik Evaluasi
Evaluasi dengan “merit rating” menurut para manajer menilai pegawainya berdasarkan berbagai faktor ataupun karakteristik pekerjaan dan/atau kepribadian secara objektif. Faktor-faktor pekerjaan mencakup elemen-elemen seperti pengetahuan akan tugas pekerjaan yang dihadapi, output yang efektif, pengambilan keputusan dan akurasi kerja. Karakteristik kepribadian dapat mencakup aspek-aspek seperti percaya diri, sikap, perilaku, inisiatif dan konsistensi.
Sistem tersebut menuntut para manajer untuk memberikan penilaian kepada staf mereka untuk tiap faktor dalam suatu skala angka 1 sampai 5. Skala tersebut akan didefinisikan dengan suatu deskripsi singkat yang diberikan terhadap level yang berbeda. Misalnya, dalam memberikan rating terhadap output yang efektif dalam suatu tata-cara penentuan penilaian yang biasa dipakai seorang manajer diminta untuk memilih di antara:
1. Sangat memuaskan- output yang sangat memuaskan dari pekerjaan yang berkualitas tinggi.
2. Memuaskan- tingkat output dan upaya yang memuaskan.
3. Cukup- menyelesaikan kurang dari jumlah pekerjaan efektif rata-rata.
4. Kurang- output yang rendah dan pekerja yang buruk.
Definisi semacam ini sendiri tidak terlalu membantu. Oleh karena itu penentuan nilai berdasarkan cara ini sering bervariasi dan tidak konsisten. Dengan demikian sistem penentuan nilai tersebut sering mempunyai kelemahan. Yaitu tidak dapat memberikan kepastian bahwa mereka yang menilai akan memberikan penilaiannya didasarkan pengamatan-pengamatan yang sistematis dan objektif terhadap perilaku kerja orang-orang yang mereka nilai.
Umumnya para manajer juga tidak menyukai sistem penilaian semacam ini karena alasan-alasan berikut ini:
 Ketidak-percayaan akan validitas sistem itu sendiri
 Tidak suka mengkritik bawahan secara langsung
 Ketidakmampuan untuk menangani evaluasi dan wawancara
 Ketidak-sukaan akan suatu prosedur yang baru
Namun demikian, banyak organisasi yang terpaksa menggunakan sistem ini karena sistem penilaian harus diterapkan dalam organisasi.
Faktor yang terutama dalam mengukur suatu kinerja adalah analisis terhadap perilaku yang diperlukan untuk mencapai hasil yang telah disepakati, bukan penilaian terhadap kepribadian.
Meskipun sistem penilaian menggunakan teknik ini banyak dikritik, namun banyak organisasi yang menggunakannya karena teknik dipandang lebih sederhana dan dapat diterapkan di seluruh unit-unit yang ada di lingkungan organisasi karena dimensi-dimensi yang dinilai menyangkut perilaku yang umum.
B. Manajemen Berorientasi Sasaran (MBO)
Menurut Schermerhorn. R. John, et.al (1995), esensi MBO adalah proses penetapan sasaran (goal setting) bersama antara atasan dan bawahan. Melalui penetapan sasaran, para manajer bekerja sama dengan bawahan untuk menetapkan sasaran dan rencana kinerja yang konsisten dengan tingkat pekerjaan dan sasaran organisasi.
Selanjutnya Drucker (1955) memperkenalkan istilah ini dalam bukunya The Practice of Management, yang menyatakan:
“An effective management must direct the vision and efforts of all managers toward a common goal. It must ensure that the individual manager understands what results are demanded of him. It must ensure that the superior understands what to expect of each of his subordinate managers. It must motivate each manager to maximum efforts in the right direction. And while encouraging high standart of workmanship, it must make them the means to the end of business performance rather than the ends in themselves”
Manajemen yang efektif harus mengarahkan visi dan upaya semua manajernya kepada sasaran bersama. Ia harus memastikan bahwa tiap manajer memahami hasil apa yang diharapkan dari setiap bawahannya. Ia harus memastikan bahwa atasan memahami apa yang dapat diharapkan dari setiap bawahannya. Ia harus dapat memotivasi manajer untuk memaksimalkan upayanya ke arah yang benar. Sementara mendorong tumbuhnya standar kerja yang tinggi, ia juga harus dapat menjadikan hal itu sebagai cara untuk mencapai peningkatan kinerja organisasi daripada kinerja individu.
Pertama, dalam pandangan Drucker, menyatakan bahwa pendekatan ini harus memastikan adanya integrasi antara sasaran individu dan perusahaan. Kedua, pendekatan ini akan menghapus ketidak-efektifan dan kesalahan-arah yang disebut sebagai menegemen berdasarkan “crisis and drives”.
Kontribusi McGregor (1960) datang dari konsep Teori Y dan Teori X –nya, yang mengatakan bahwa:
“The central principle which derives from Theory Y is that of integration: the creation of conditions such that the members of the organization can achieve their own goals best by directing their efforts towards the success of the enterprise”
“Prinsip pokok yang dikembangkan dari Teori Y adalah integrasi: penciptaan kondisi dimana para anggota organisasi dapat mencapai sasaran mereka sebaik mungkin dengan mengarahkan segala upaya ke arah keberhasilan organisasi”
McGregor menekankan, bahwa tujuannya harus untuk mencapai managemen berdasarkan integrasi dan pengendalian diri adalah sebuah strategi- suatu cara untuk mengelola manusia: “Taktinya dikembangkan berdasarkan kebutuhan keadaan”.
Manajemen berdasarkan sasaran merupakan proses umpan-balik yang memerlukan definisi sasaran organisasi yang akan dijabarkan kedalam sasaran bagi masing- masing unit kerja.
Manajemen berdasarkan sasaran cenderung untuk gagal, bukan hanya karena sifatnya yang birokratis dan sentralistik, tetapi juga karena sistem ini terlalu menekankan kepada sasaran serta output yang dapat dihitung secara kuantitatif, serta sangat sedikit ataupun bahkan sama sekali tidak memperhatikan faktor- faktor kualitatif serta aspek perilaku dari kinerja. Alasan yang lebih lanjut dari kegagalan ini adalah bahwa menejemen berdasarkan sasaran ini seringkali lebih banyak bersifat proses dari atas ke bawah dengan kurang terjadi dialog antara para manajer dan karyawan yang bertanggung jawab kepada mereka.
C. Evaluasi Kinerja (Performance Appraisal)
Evaluasi kinerja merupakan sistem formal yang digunakan untuk mengevaluasi kinerja pegawai secara periodik yang ditentukan oleh organisasi. Evaluasi kinerja mempunyai tujuan antara lain (Ivancevich, 1992):
• Pengembangan
• Pemberian Reward
• Motivasi
• Perencanaan SDM
• Kompensasi
• Komunikasi
Sistem evaluasi kinerja sebagaimana yang dikembangkan sejak tahun tujuh-puluhan dan delapan-puluhan menyertakan beberapa ciri manajemen berdasarkan sasaran yang diistilahkan sebagai “result-operated scheme”.
Pada beberapa hal dimasukkan juga faktor-faktor output (hasil) selain faktor input yang berhubungan dengan perilaku. Hal ini, terutama di Amerika Serikat, termasuk pengembangan metode “Behaviourally Anchored Rating Scale” yang menuntut diidentifikasikannya aspek tanggung jawab suatu pekerjaan atau kelompok pekerjaan. Suatu skala kemudian dibuat bagi tiap dimensi dengan suatu keterangan pendek yang menggambarkan tentang perilaku yang tipikal bagi tiap nilai skala tertentu di mana keterangan itu dicamtumkan.
Keterangan-keterangan ini seringkali dibuat dengan menggunakan metode “Critical Incident Technique” sebagai suatu metode untuk mendefinisikan pekerjaan berdasarkan perilaku suatu jabatan.
Sistem evaluasi kinerja ini telah cenderung untuk menjadi suatu campuran yang kurang tepat antara penetapan sasaran dan proses rating. Sistem ini seringkali merupakan sesuatu yang dipaksakan sebagai suatu bagian dari sistem birokratis kepada para manajer lini yang kemudian melaksanakannya di bawah tekanan sehingga pelaksanaannya kurang efektif.
Istilah “appraisal” mengandung pengertian bahwa ini adalah suatu proses dari “top-down” di mana para manajer memberitahukan kepada stafnya bagaimana pandangannya tentang staf mereka. Dan salah satu penyebab dari gagalnya sistem evaluasi kinerja bahwa manajer tidak suka melakukannya-mereka keberatan, dalam istilahnya McGregor, untuk ‘Playing at being God’.
D. Manajemen Kinerja
Manajemen kinerja didefinisikan oleh Bacal (1999) sebagai proses komunikasi yang berkesimnambungan dan dilakukan dalam kemitraan antara seorang karyawan dan atasan langsungnya.
Selanjutnya Noe,dkk (1999) menyebutkan 3 (tiga) tujuan manajemen kinerja yaitu:

• Tujuan Stratejik
Manajemen kinerja harus mengaitkan kegiatan pegawai dengan tujuan organisasi.
• Tujuan Administratif
Kebanyakan organisasi mengggunakan informasi manajemen kinerja khususnya evaluasi kinerja untuk kepentingan keputusan administratif.
• Tujuan Pengembangan
Manajemen kinerja bertujuan mengembangkan kapasitas pegawai yang berhasil di bidang kerjanya.
Perkembangan manajemen kinerja dipercepat oleh faktor-faktor berikut ini (Amstrong, 1994):
• Munculnya manajemen sumber daya manusia sebagai suatu pendekatan yang strategis dan terpadu terhadap pengelolaan dan pengembangan SDM yang bertanggungjawab atas manajemen lini.
• Perlunya menemukan suatu pendekatan yang strategis namun fleksibel dalam mengelola suatu organisasi perusahaan
• Kesadaran akan kenyataan bahwa kinerja hanya dapat diukur dan dinilai atas dasar suatu model input – proses-output-outcome, dan terlalu konsentrasi terhadap salah satu dari aspek kinerja tersebut dapat mengurangi efek dari keseluruhan sistemnya
• Perhatian yang diberikan kepada konsep perbaikan dan pengembangan yang berkelanjutan, dan “learning organisatiton” (organisasi pembelajaran)
• Kesadaran bahwa proses mengelola kinerja adalah sesuatu yang harus dilaksanakan oleh para manajer lini sepanjang tahun-bukannya suatu peristiwa tahunan yang diatur oleh departemen personalia
• Meningkatnya kesadaran tentang pentingnya budaya organisasi (corporate culture) kebutuhan untuk memberikan daya dongkrak yang membantu mengubah budaya dan proses di bawah suatu nilai-nilai dasar (core-values)
• Meningkatnya penekanan terhadap komitmen dengan mengintregasikan tujuan organisasi dan individu
• Pengembangan konsep kompetensi dan tehnik untuk menganalisis kompetensi, serta menggunakan analisis tersebut sebagai dasar penentuan dan pengukuran standar kinerja dalam perilaku
• Kesadaran bahwa mengelola kinerja adalah urusan dari setiap orang di dalam organisasi, bukan hanya para manajer
• Ketidakpuasan terhadap hasil yang diperoleh dari cara pembayaran gaji/upah berdasarkan kinerja dan berkembangnya keyakinan bahwa akar permasalahannya sering kali disebabkan oleh tidak adanya proses yang memadai untuk mengukur kinerja
Manajemen kinerja juga memasukan banyak diantara pendekatan yang terdapat dalam sistem penilaian kinerja yang berhubungan dengan penentuan sasaran, seperti tata cara yang berorientasi hasil, penggunaan faktor-faktor yang didasarkan pada perilaku (behaviourally anchored factors) untuk tujuan evaluasi dalam bentuk kompetensi, dan pendekatan yang akan digunakan untuk melaksansakan pertemuan evaluasi secara formal.
Namun demikian ada beberapa perbedaan yang cukup penting. Manajamen kinerja dalam bentuknya yang paling berkembang dapat disimpulkan sebagai berikut :
 Dipandang sebagai suatu pengintegrasian proses sasaran organisasi, fungsi, kelompok dan tujuan individuyang menghubungkannya secara lebih eratdengan aspek lainnya dari manajemen sumber daya manusia
 Diperlakukan sebagai suatu proses manajemen yang normal, bukan suatu tugas administratif yang dipaksakan oleh Departemen Personalia
 Menyangkut semua anggota organisasi sebagai mitra dalam proses tersebut-bukan merupakan sesuatu yang diperintahkan oleh atasan kepada bawahannya
 Didasarkan kepada kesepakatan mengenai akuntanbilitas, harapan kerja dan rencana pengembangan, serta dipandang sebagai bagian dari proses interaksi normal diantara para manajer, individu dan anggota tim
 Menyangkut bukan hanya kinerja individu, tetapi juga kinerja tim
 Mengukur dan mengevaluasi kinerja dengan mengacu kepada faktor-faktor input/proses (pengetahuan, keahlian, kepiawaian dan kompetensi) dan faktor-faktor output/akibat (hasil dan kontribusi)
 Sebagai suatu proses yang berkesinambungan, bukan hanya mengandalkan kepada suatu evaluasi formal sekali setahun.
 Memperlakukan evaluasi kinerja sebagai suatu proses bersama yang menekankan kepada pandangan yang membangun ke masa depan-istilah ‘appraisal’ dengan konotasi ‘dari tinggi ke rendah’ kurang bisa digunakan
 Difokuskan kepada meningkatkan kinerja, mengembangjan kompetensi dan memanfaatkan potensi
 Dapat memberikan dasar bagi keputusan untuk penentuan gaji/upah berdasarkan kinerja kalau sistem itu dipergunakan, tetapi dengan lebih memperhatikan pengembangan dari sebuah sistem penentuan nilai (rating system) dan bagaimana mencapai suatu konsistensi dalam memberikan penilaian (rating)
 Mungkin tidak akan menyertakan suatu sistem rating sama sekali kalau proses itu dipergunakan untuk tujuan pengembangan dan perbaikan kinerja
 Tidak mengandalkan kepada formulir-formulir dan prosedur yang rumit.
 Perlunya pelatian agar memiliki keahlian yang diperlukan untuk menentukan kesepakatan, memberikan umpan balik, mengevaluasi kinerja dan membimbing serta memberika konseling kepada para karyawan
 Secara keseluruhan, lebih mementingkan proses menentukan sasaran, mengelola kinerja sepanjang tahun dan memantau serta mengevaluasi hasil daripada isi dari apa yangs sering kali disebut sebagai ‘sistem manajemen kinerja’ yang implikasinya adalah seperangkat mekanisme agar orang mengerjakan sesuatu dengan cara tertentu
Terdapat variasi yang luas diantara berbagai pendekatan dalam manajemen kinerja ada yang mengatakan ‘sistem manajemen kinerja’ tidak lebih dari sekedar penentuan nilai berdasarkan jasa (merit-rating), manajemen berdasarkan sasaran atau cara-cara penilaian kinerja tradisional. Ada juga yang mengatakan dan menggunakan sistem ini sebagai dasar bagi suatu sistem penentuan gaji/upah berdasarkan kinerja dan berdasarkan pra-anggapan bahwa gaji atau upah adalah motivator yang terbaik, walaupun gaji upah bukan satu-satunya yang menentukan kinerja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar