Senin, 30 Mei 2011

metodologi study islam

PENDEKATAN ISLAM TRADISIONAL DI TANAH JAWA

Makalah

Disusun Guna Memenuhi Tugas

Mata Kuliah : Metodologi Studi Islam
Dosen Pengampu : Taufiqurrohman K.,SH.I,M.A.










Disusun Oleh :
Umi Salamah
NIM : 209 137



SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) KUDUS
SYARI’AH/EI
2011
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam wacana studi agama kontemporer, fenomena keberagaman manusia dapat dilihat dari berbagai sudut pendekatan yaitu pendekatan naqli (tradisional), pendekatan secara aqli (rasional), dan pendekatan kasyf (mistis). Dimana dalam memahami agama kontemporer itu seharusnya ketiga pendekatan tersebut digunakan secara serempak bukan secara terpisah-pisah. Ia tidak hanya lagi dapat dilihat dari sudut dan semata-mata terkait dengan normativisme ajaran wahyu, tetapi ia juga dapat dilihat dari sudut yang terkait erat dengan historisitas pemahaman dan interprestasi orang-perorang atau kelompok-perkelompok terhadap norma-norma ajaran agama yang dipeluknya, serta model-model amalan dan praktek-praktek ajaran agama yang dilakukannya dalam kehidupan sehari-hari.
Seperti pada waktu Islam memasuki kebudayaan di Indonesia dengan waktu yang tidak terlalu lama. Itu di karenakan watak bangsa Indonesia dan bangsa- bangsa timur di dalam menerima setiap kebudayaan baru yang datang dari luar bersikap toleran, artinya bersedia menerima apa yang datang dari luar dengan tidak membuang sama sekali apa yang sudah dimiliki, dengan mengingat batas- batas kemungkinan. Sehingga para juru da’wah seperti Walisongo berhasil mengislamkan masyarakat di Jawa yang pada waktu itu masih memeluk kepercayaan- kepercayaan lama seperti Hindu, Budha, Animisme, dan lain- lain.
B. PERMASALAHAN
1. Apa Pengertian Pendekatan tradisional?
2. Bagaimana kebudayaan jawa ketika dimasuki ajaran islam?
3. Bagaimana metode dakwah islam yang diterapkan oleh walisongo?


BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Pendekatan Tradisional
Yang dimaksud dengan pendekatan di sini adalah cara pandang atau paradigma yang terdapat dalam suatu bidang ilmu yang selanjutnya digunakan dalam memahami agama. Dalam hubungan ini Jamaluddin Rakhmat mengatakan bahwa agama dapat diteliti dengan menggunakan berbagai paradigma realitas agama yang diungkapkan mempunyai nilai kebenaran sesuai dengan kerangka paradigmanya. Oleh karena itu, tidak ada persoalaan apakah penelitian agama itu, penelitian ilmu sosial, penelitian legalisti, atau penelitian filosofis.
Berbagai pendekatan manusia dalam memahami agama dapat melalui pendekatan paradigma ini. Dengan pendekatan ini semua orang dapat sampai pada agama. Di sini dapat dilihat bahwa agama bukan hanya monopoli kalangan teolog dan normalis, melainkan agama dapat dipahami semua orang sesuai dengan pendekatan dan kesanggupannya. Oleh karena itu, agama hanya merupakan hidayah Allah dan merupakan suatu kewajiban manusia sebagai fitrah yang diberikan Allah kepadanya.
Bentuk “tradisional” di kalangan para sarjana lulusan universitas dan perguruan tinggi “klasik” seperti al-Azhar di Mesir, Qarawayn di Maroko, dan Zaitunah di Tunisia adalah bentuk pengetahuan tentang tradisi dengan segala aspeknya, mulai dari tradisi agama, bahasa, hingga sastra, berpegang pada model apa yang pernah di kemukakan sebagai model “pemahaman literal dan tradisionalis atas tradisi” (al-fahm al-turatsi li al-turats). Yakni satu bentuk pemahaman yang merujuk pada pandangan ulama- ulama dan sarjana terdahulu, baik yang diungkapkan dalam bentuk pandangan- pandangan pribadi maupun pandangan- pandangan yang mengutip ulama’ sebelumnya. Ciri umum yang melekat pada pendekatan semacam ini adalah keterlibatannya dalam persoalan- persoalan masa lalu yang dihadapi tradisi, serta bersikap menyerah terhadapnya.
Tradisional muncul dari konsep tradisi. Tradisional merupakan sikap mental dalam merespon berbagai persoalan dalam masyarakat. Didalamnya terkandung metodologi atau cara berfikir dan bertindak yang selalu berpegang teguh atau berpedoman pada nilai dan norma yang belaku dalam masyarakat. Dengan kata lain setiap tindakan dalam menyelesaikan persoalan berdasarkan tradisi.
Pendekatan tradisional adalah paradigma yang terdapat dalam suatu bidang ilmu yang selanjutnya digunakan dalam memahami agama yang setiap tindakan dalam menyelesaikan persoalan berdasarkan tradisi.
B. Kebudayaan Jawa ketika dimasuki ajaran islam
Sejak dulu kala bangsa Jawa mempunyai sifat relijius yang tinggi. Di didukung oleh lingkungan yang mendorong pertumbuhan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) sejak dini, bangsa Jawa telah mengenal agama Animisme yang telah berkembang cukup lanjut (advanced). Pengetahuan dan kebudayaan untuk menjalankan kehidupan beragama telah pula ikut dikembangkan.
Sifat relijius bangsa Jawa tidak membuat keyakinannya menjadi statis. Perubahan dapat terjadi dalam menganut suatu agama, manakala dilihatnya ada agama baru yang lebih baik. Oleh karena itu masuknya agama Hindu yang dianggap lebih modern dibanding Animisme, diterima dengan baik. Agama Hindu masuk ke Jawa dibawa oleh bangsa India yang datang pada abad ke-1 di bawah pimpinan Ajisaka. Salah satu hal yang dianggap menjadi penghambat diterimanya agama Hindu oleh bangsa Jawa adalah system kasta yang membedakan tingkatan atau derajat menusia berdasarkan ukuran- ukuran material. Oleh karena itu ketika sekitar abad ke-4 agama Budha masuk ke Jawa, yang di bawa oleh kaum terpelajar China dengan membangun pusat pemukiman baru di Palembang. Dengan dua agama baru itu maka persaingan terjadi di antara tiga agama besar, yaitu Hindu, Budha, dan Animisme. Persaingan tersebut seringkali membuahkan konflik, dan puncaknya adalah runtuhnya Mataram Hindu pada abad ke-10.
Islam sebenarnya sudah masuk ke Jawa pada abad ke-8 Masehi. Akan tetapi kuatnya keyakinan masyarakat kepada tiga agama yang sudah ada, tak tergoyahkan oleh tawaran agama baru yang dibawa juru dakwah dari daulah Abbasiyah. Hal ini disebabkan karena sampai abad ke-15 agama Hindu, Budha, dan Animisme telah mampu memberi petunjuk bagi masyarakat Jawa dalam mengembangkan masalah- masalah sosial, ekonomi, kebudayaan dan ilmu pengetahuan. Akan tetapi ketika rakyat dan penguasa Majapahit dilanda kemelut politik, ekonomi, dan keamanan akibat perang Paregreg yang terjadi, timbul pemikiran baru yang sama sekali tak terduga sebelumnya. Pada waktu itu, dengan jitu Sultan Muhammad I dari Turki mengirim tim yang mampu memberi obat penawar keresahan masyarakat. Di bawah pimpinan Maulan Malik Ibrahim, dakwah Islam berhasil menghidupkan kebekuan penyebaran agama Islam yang telah berlangsung selama 7 abad sebelumnya. Kepiawaian sultan Turki di dalam memilih bidang keahlian sembilan juru dakwah tersebut merupakan kunci keberhasilan tim itu dalam membawa misi menyuburkan perkembangan Islam di Tanah Jawa.
Agama Islam menyebar di Indonesia dan khususnya di Jawa adalah secara alamiah. Penyebaran Islam tersebut adalah melalui hubungan perdagangan dan pengembaraan ulama- ulama sufi. Hal ini dapat diketahui dari alam pikiran islam di Indonesia yang sejak semula amat diwarnai oleh ajaran sufisme (tasawuf) dengan tokoh pemikir keagamaan yang terdiri dari para Wali Allah dan guru- guru tarekat. Dan dari sejak lahirnya, Islam adalah agama dakwah, baik dalam teori maupun dalam praktik. Sehingga dalam hal ini salah satu metode yang di pakai dalam pendekatan tradisional di Negara Indonesia dan khususnya di Jawa dengan cara berdakwah.
Salah satu Para Wali Allah yang menggunakan metode berdakwah adalah Sunan Kalijaga. Peran yang paling nyata adalah melanjutkan pengislaman Tanah Jawa dan memperkuat landasan budaya islami di kalangan masyarakat. Hasilnya, pada waktu Indonesia memproklamirkan kemerdekaan pada tahun 1945, jumlah pemeluk agama islam di Jawa dinyatakan sebesar 95%. Namun dari jumlah itu, khususnya di kalangan masyarakat Jawa, lebih dari separuh sebenarnya tidak mengenal betul apa ajaran Islam itu. Yang mereka kenal tidak lebih dari tradisi keagamaan yang masih bercampur dengan nilai- nilai agama Hindu-Budha-Animisme. Sampai dengan decade 1950-an, lebih dari separuh orang Jawa tidak menjalankan sholat, tidak tahu bagaimana melakukan sholat. Mereka juga tidak melakukan puasa Romadhon. Yang mereka kerjakan adalah berkhitan bagi anak lelaki dengan upacara yang sangat konsumtif, sampai nanggap wayang bagi keluarga yang mampu. Bagi yang kurang mampu, kadang-kadang waktu mengkhitankan anaknya juga nanggap wayang, walaupun biayanya diperoleh dengan menjual sawah.
Tradisi yang nampaknya juga hasil kerja Sunan kalijaga untuk mewarnai budaya masyarakat Jawa dengan nilai Islam adalah, setiap orang yang akan bekerja harus mengucapkan bismillah. Akan tetapi kata bismillah yang sebernarnya tidak sulit itu oleh lidah Jawa kebanyakan diucapkan dengan semeilah.
Di samping itu tradisi Jawa juga melarang seseorang bekerja, apalagi pergi ke sawah, di waktu tengah hari (waktu bedhug). Ini tentu anjuran untuk menjalankan sholat dhuhur, tetapi yang dipesankan hanya bekerja di tengah hari itu tidak baik karena dapat digigit ular. Demikian pula waktu senja (maghrib) juga dilarang keluar rumah karena waktu itu adalah candhik oloo. Kalau larangan ini dilanggar orang dapat menjadi mangsa bethoro koloo, tidak dijelaskan pesan aslinya untuk tidak meninggalkan sholat maghrib.
Kokohnya budaya dan adat istiadat orang Jawa yang berakar pada nilai- nilai Islam itulah barangkali karya Sunan Kalijaga yang paling penting dalam perkembangan Islam di Indonesia atau Jawa. Tetapi Sunan Kalijaga tidak sendirian, karena beliau juga dibantu oleh Wali- Wali yang lain. Memang ada tugas pembagian tugas cara berdakwah agar aktifitas seluruh anggota Walisongo dapat menyentuhh setiap kelompok masyarakat yang berlatar belakang budaya atau agama lama yang berbeda-beda. Mengingat hal itu, walaupun ada kekurangannya, peranan Sunan Kalijogo dalam mengembangkan agama Islam di Indonesia jelas penting artinya.
Contoh keberhasilan Sunan Kalijogo dalam membangun tradisi Jawa yang Islami adalah kepiawaiannya dalam membuat semacam filosofi yang memanfaatkan alat-alat pertanian yang digunakan masyarakat. Filosofi tentang luku dan pacul ciptaan Sunan Kalijogo itu masih dikenal luas di pedesaan Jawa Tengah sampai sekarang. Luku dan pacul adalah alat kemakmuran bagi masyarakat petani, sehingga hampir semua orang Jawa sebelum proklamasi kemerdekaan akrab dengan kedua alat tersebut. Oleh Sunan Kalijogo, bajak (luku) yang tersusun atas tujuh bagian itu dianggap mengandung filosofi yang dalam, yaitu (Widji Saksono 1985: 113-114):
1. pegangan, artinya orang yang ingin mencapai cita- cita harus mempunyai pegangan, bekal yang cukup. Bagi orang Islam, pegangan hidup tidak lain adalah Al-Qur’an dan Hadits.
2. Pancadan, mancad artinya bertindak. Kalau sudah punya pegangan maka segera bertindak, jangan menunda-nunda.
3. Tanding, artinya membanding- bandingkan. Setelah bertindak, kemudian membandingkan mana yang lebih baik.
4. Singkal, diartikan metu saka ing akal. Setelah memikir dan membandingkan, kemudian menentukan siasat terbaik untuk dapat berhasil.
5. Kejen, artinya kesawijen, yaitu kesatuan atau pemusatan. Karena sudah menemukan siasat, maka semua tenaga dan fikiran disatukan.
6. Olang- aling, artinya sesuatu yang menutupi. Setelah menyatukan tenaga dan fikiran maka cita-cita yang diinginkan sudah terbayang didepan mata, tidak ada yang menutupi.
7. Racuk, singkatan ngarah ing pucuk, yaitu menghendaki yang paling atas atau tinggi. Dengan petubjuk di atas, betapapun tingginya cita-cita maka akhirnya akan dapat tercapai.
Tentang filsafat pacul, setelah membajak maka masih ada sisa-sisa tanah di sudut sawah yang belum terbajak. Bagaimanapun, setelah cita-cita tercapai masih ada kekurangan- kekurangan. Di sini petani dapat menggunakan pacul. Peralatan pacul terdiri atas tiga bagian, yaitu:
1. pacul-nya sendiri, yang merupakan singakatan dari ngipatake kang muncul, artinya dalam mengejar cita-cita tentu timbul godaan yang harus disingkirkan.
2. Bawak, singkatang obahing awak, menggerakkan badan. Semua godaan yang ada harus dihadapi dengan kerja keras.
3. Doran, singkatan ndedongo ing pangeran, berdo’a kepada tuhan. Upaya untuk mengejar cita-cita seringkali tidak cukup dengan mengandalkan kerja fisik saja, tapi disertai dengan do’a.
C. Metode da’wah islam yang diterapkan oleh walisongo
Metode studi islam yang dilakukan oleh para wali dalam menyampaikan ajaran islam di Indonesia dan khususnya di tanah Jawa adalah dengan cara berdakwah. Masuk dan tersebarnya Islam di Indonesia khususnya, dan di dunia pada umumnya adalah dengan kebijaksanaan dan keuletan da’wah yang tidak dengan kekerasan. Islam sebagai ajaran dan tuntunan hidup yang menuntun manusia ke arah kebahagiaan dunia dan akhirat, diterima oleh rakyat Indonesia adalah dengan jalan da’wah.
Dalam Al-Qur’an Allah SWT memberikan tuntunan dakwah yang baik dan benar. Rosulullah SAW juga telah memberikan contoh teladan bagaimana cara melaksanakan tuntunan tersebut dalam arena praktis. Cara- cara dakwah yang pernah dilakukan oleh Rosulullah ialah dengan cara memberi pidato dalam kelompok- kelompok, di pasar- pasar, mengunjungi rumah- rumah, memerintahkan sahabat- sahabatnya berhijrah, mengirim utusan atau delegasi, menyurati raja- raja atau amir, atau dengan usaha- usaha lainnya. Dasar dari metode ini merujuk kepada Al-Qur’an surat al-Nahl (16):125
“serulah manusia ke jalan Tuhanmu dengan hikmmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk”.
Dalam berdakwah, secara konseptual Walisongo menerapkan metode yang disebut dengan istilah mau’idhah al-hasanah wal mujadalah hiya ahsan. Sebagai praktik dari mau’idhah al-hasanah yang dikembangkan oleh para wali, tokoh khusus yang diperlakukan secara professional dan dihubungi secara istimewa, langsung pribadi bertemu dengan pribadi. Kepada mereka diberikan keterangan, pemahaman dan perenungan (takzir) tentang Islam, peringatan- peringatan pemberian dengan lemah lembut, bertukar pikiran dari hati ke hati, penuh toleransi dan pengertian dari pihak para tokoh yang bersangkutan. Apabila cara ini tidak berhasil, barulah mereka menempuh jalan lain, yaitu al-mujadalah hiya ahsan. Cara yang disebut terakhir ini terutama diterapkan terhadap tokoh yang secara terang- terangan menunjukkan kurang simpati dan setuju terhadap dakwah Islam.
Penggunaan metode di atas kita dapati misalnya ketika Raden Rahmat atau Sunan Ampel dan kawan- kawannya berdakwah kepada Ariya Damar dari Palembang. Berkat keramahan dan kebijaksanaan Raden Rahmat, Ariya Damar kemudian sudi masuk Islam bersama istrinya, yang kemudian diikuti pula oleh hampir segenap rakyat dari anak negerinya.
Metode al-hikmah sebagai system dan cara- cara berdakwah para wali merupakan jalan kebijaksanaan yang diselenggarakan secara popular, atraktif dan sensasional. Cara ini mereka pergunakan dalam menghadapi masyarakat awam. Kadang- kadang terlihat sensasional bahkan ganjil dan unik sehingga menarik perhatian umum. Dalam metode ini kita dapati misalnya, sunan kalijaga dengan gamelan Sekatennya. Atas usul Sunan Kalijaga, maka dibuatlah keramaian dengan gamelan Sekatenan (dua kalimah persaksian kunci keislaman), yang diadakan di masjid agung dengan memukul gamelan yang sangat unik dalam hal langgaman lagu mmaupun komposisi instrumental yang telah lazim pada waktu itu. Selain itu, Sunan Kalijaga juga mengarang lakon wayang baru dan menyelenggarakan pergelaran- pergelaran wayang.
Metode selanjutnya dari metologi dakwah Islam adalah metode tadarruj atau tarbiyyatul Ummah. Metode ini dipergunakan sebagai proses klasifikasi yang disesuaikan dengan tahap pendidikan umat agar ajaran Islam dapat dengan mudah dimengerti oleh umat dan akhirnya dijalankan oleh masyarakat secara merata, maka tampaklah bahwa metode yang ditempuh oleh walisongo tersebut didasarkan atas idiom likulli maqam maqal, yaitu memperhatikan bahwa setiap jenjang dan bakat, ada tingkat, bidang materi, dan kurikulumnya. Contohnya ketika Raden Patah mmenyatakan ingin berguru agama kepada Sunan Ampel. Oleh Sunan Ampel terlebih dahulu Raden Patah ditanya apakah sudah memiliki dasar yang kuat apa belum. Dan setelah Raden Patah mengetahui dasar yang dimilikinya, kemudian Raden Patah tidak lagi diharuskan bertempat di pondok pesantren tapi langsung ditempatkan di lingkaran wirid. Raden Patah memang membawa bekal ilmu yang sebelumnya telah dimiliki sejak dari Palembang.
Metode lainnya adalah dengan penbentukan dan penanaman kader, serta penyebaran juru dakwah ke berbagai daerah. Tempat yang dituju adalah daerah- daerah yang sama sekali kosong dari penghuni ataupun kosong dari penghuni Islam. Sunan Kalijaga misalnya, Beliau mendidik Ki Cakrajaya dari Purworejo dan setelah menjjadi wali naubah dianjurkan pindah ke Lowanu agar mengislamkan masyarakat di sekitar daerah itu.
Mengkaji secara mendalam tentang gerakan dakwah yang dilakukan oleh Walisongo, kita akan dapat melihat adanya kaitan dengan metode dakwah Nabi Muhammad. Pertama, berdakwah melalui jalur keluarga/ perkawinan. Diceritakan dalam usaha memperluas dakwah Islam salah satu cara yang ditempuh adalah dengan menjalin hubungan genealogis dengan para tokoh Islam muda yang sebagian besar adalah santri beliau sendiri. Putri beliau yang bernama Dewi Murthosimah dikawinkan dengan Raden Patah (Bupati Demak).sebagaimana diketahui bahwa salah satu langkah yang ditempuh Nabi Muhammad untuk memperkuat kekuatan Islam adalah dengan melalui ikatan perkawinan, karena denga cara ini ikatan kekeluargaan akan semakin kuat di antara umat Islam. Contohnya perkawinan Nabi Muhammad dengan putri Abu Bakar.
Kedua, adalah dengan mengembangkan pendidikan pesantren yang mula- mula dirintis oleh Syekh Maulana Malik Ibrahim adalah suatu model pendidikan Islam yang mengambil bentuk pendidikan biara dan asrama yang dipakai oleh pendeta dan biksu dalam mengajar dan belajar. Oleh sebab itu pesantren di masa itu memakai mandala- mandala Hindu Budha yang pengaruhnya masih terlihat sampai saat ini agar masyarakat setempat tidak kaget dalam menerima nilai- nilai islam. Berbagai peristilahan yang berkaitan dengan hal- hal ritual masih mengambil istilah- istilah Hindu- Budha, untuk sholat misalnya dipakai istilah sembahyang yang diambil dari kata sembah dan hyang. Demikian dengan dengan penyebutan tempat ibadah dipakai kata langgar yang mirip dengan pengucapan sanggar. Untuk para penuntut ilmu dipakai istilah santri yang berasal dari kata shastri yang dalam bahasa India berarti orang yang mengetahui buku- buku suci agama Hindu. Meski system pendidikan pesantren menganut system padepokan yang mengingatkan pada biara tetapi santri bukanlah pendeta. Sehingga siapapun orangnya boleh belajar di pesantren.
Ketiga, adalah dengan mengembangkan kebudayaan Jawa. Dalam kebudayaan Jawa Walisongo memberikan andil yang sangat besar. Yaitu dalam bidang pendidikan dan pengajaran, hiburan, tata sibuk (perintang waktu luang), kesenian dan aspek- aspek lain di bidang kebudayaan pada umumnya. Misalnya ialah sunan Bonang bertugas dengan adamel sesuluking ngelmu.dalam kedudukannya selaku Raja Ilmu dan agama dengan gelar Prabu Hanyakra Kusuma. Beliau dibantu oleh Sunan Kalijaga dalam bidang seni dan budayanya. Sunan Giri mengarang ilmu Falak yang sesuai dengan alam dan pemikiran orang jawa. Sebagai astronomi dan memuat pelanggaran atau amanat yang berlaku bagi orang jawa dengan prinsip- prinsip ilmu Falak Islam, antara lain meliputi nama- nama hari, tanggal tahun dan sebagainya. Selain itu Sunan Kalijaga dengan cara praktis dan pepoler menciptakan filsafat dan pedoman hidup sebagai way of life dan way of thougt bagi rakyat jelata, khususnya bagi kaum tani dengan bajak dan cangkul atau luku dan pacul sebagai media pendidikan dan pengajaran nilai- nilai islam. Bajak dan luku memiliki tujuh bagian, masing- masing bagian itu adalah pegangan, pancatan, tanding, singkal artinya metu songko ing akal, kejen artinya kesawijen, ialah kesatuan atau pemusatan, olang- aling artinya barang yang menutupi, racuk artinya ngarah ing pucuk yaitu menghendaki yang paling tinggi.
Selanjutnya, dari berita- berita dan peninggalan sejarah kita mengetahui bahwa para wali menciptakan kisah- kisah, cerita- cerita, tamsil ibarat yang popular yang tidak hanya berisi ajaran konstruktif bagi jiwa dan raga, tapi juga merupakan hiburan- hiburan sehat yang menarik sebagai pengisi waktu senggang untuk menciptakan waktu luang yang sehat dan bermanfaat. Walisongo juga menciptakan Serat Dewa Ruci sebagai salah satu lakon wayang yang pada hakikatnya mengibaratkan usaha ke arah tarekat, hakikat sampai ma’rifat keislaman. Kesenian wayang itu, dalam proses berdakwah oleh para wali bukan dihapus tapi justru digunakan semaksimal mungkin menjadi alat pendukung dalam menyebarkan agama islam.
Untuk kehidupan beragama kita melihat usaha para wali tersebut mendirikan masjid- masjid, seperti masjid Demak, masjid Kudus dan sebagainya. Dalam lapangan pendidikan mereka juga mendirikan pesantren, madrasah, lembaga- lembaga pendidikan agama antara lain di daerah Bonang dan Ampel. Selain itu dibentuk pula perkumpulan- perkumpulan tarekat. Para wali membuat sya’ir- syair keislaman secara kreatif, dengan jalan mengadakan peringatan- peringatan hari besar Islam berupa perayaan dan upacara seperti Sekaten untuk mauled Nabi Muhammad SAW.
Keempat, adalah metode dakwah melalui sarana dan prasarana yang berkait dengan masalah perekonomian rakyat. Dalam hal ini Sunan Kalijaga menyumbangkan karyanya yang berkenaan dengan pertanian seperti filsafat bajak dan cangkul. Sunan Drajat juga menyumbangkan pemikiran tentang kesempurnaan alat angkutan (transportasi) dan bangun perumahan. Sunan Gunungjati menyumbangkan pikiran tentang pemindahan penduduk (migrasi), yaitu melalui pembukaan hutan- hutan sebagai perluasan tempat kediaman dan ekstensifikasi pemanfaatan alam serta hasil bumi.
Kelima, dalam mengembangkan dakwah Islammiyah di tanah Jawa para wali menggunakan sarana politik untuk mencapai tujuannya. Dalam bidang politik kenegaraan Sunan Giri tampil sebagai ahli Negara para Walisongo. Beliau pula yang menyusun peraturan- peraturan ketataprajaan dan pedoman- pedoman tatacara keratin. Dalam hal ini Sunan giri dibantu oleh Sunan Kudus yang juga ahli dalam perundang-undangan, pengadilan, dan mahkamah.




BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Pendekatan tradisional adalah paradigma yang terdapat dalam suatu bidang ilmu yang selanjutnya digunakan dalam memahami agama yang setiap tindakan dalam menyelesaikan persoalan berdasarkan tradisi
2. Sebelum dimasuki Islam, Jawa mempunyai tiga agama yaitu Hindu, Budha, dan Animisme. Kemudian Islam datang di Jawa pada saat rakyat dan penguasa Majapahit dilanda kemelut politik, ekonomi, dan keamanan. Kemudian Sultan Muhammad I dari Turki mengirim tim yang mampu memberi obat penawar keresahan masyarakat. Di bawah pimpinan Maulan Malik Ibrahim, dakwah Islam berhasil menghidupkan kebekuan penyebaran agama Islam yang telah berlangsung selama 7 abad sebelumnya. Kepiawaian sultan Turki di dalam memilih bidang keahlian sembilan juru dakwah tersebut merupakan kunci keberhasilan tim itu dalam membawa misi menyuburkan perkembangan Islam di Tanah Jawakebudayaan Jawa ketika dimasuki islam
3. Metode studi islam yang dilakukan oleh para wali dalam menyampaikan ajaran islam di Indonesia dan khususnya di tanah Jawa adalah dengan cara berdakwah. Masuk dan tersebarnya Islam di Indonesia khususnya, dan di dunia pada umumnya adalah dengan kebijaksanaan dan keuletan da’wah yang tidak dengan kekerasan. Islam sebagai ajaran dan tuntunan hidup yang menuntun manusia ke arah kebahagiaan dunia dan akhirat, diterima oleh rakyat Indonesia adalah dengan jalan da’wah.





B. Saran
Demikianlah makalah yang dapat saya buat, apabila terdapat kesalahan dalam penulisan saya mohon maaf yang sebesar- besarnya. Kami juga mengharap kritik dan saran yang membangun untuk perbaikan makalah selanjutnya. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua, Amiin…
Terima kasih

DAFTAR PUSTAKA

Abed Al Jabiri Muhammad, Post Tradisionalisme Islam, LKiS Yogyakarta, Yogyakarta, 2000
Simon Hasuni, Misteri Syekh Siti Jenar, cetakan kedua, PUSTAKA PELAJAR, Yogyakarta, 2005
Sofwan Ridin,Wasit dan Mundiri, Islamisasi di Jawa, cetakan I, PUSTAKA PELAJAR, Yogyakarta, 2000

http://www.artikata.com/arti-354966-tradisional.html

http://www.google.co.id/#q=pendekatan+tradisional+dalam+metodologi+studi+islam.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar