Minggu, 22 Mei 2011

pengertian ushul fiqh

PENGERTIAN USHUL FIQIH
Ushul fiqh dapat dilihat sebagai rangkaian dari dua buah kata, yaitu: kata Ushul dan kata Fiqh, dan dapat dilihat pula sebagai nama satu bidang ilmu dari ilmu-ilmu syari’ah.
Kata Ushul adalah bentuk jama’ dari kata ashl yang menurut bahasa, berarti sesuatu yang dijadikan dasar bagi yang lain. Sedangkan menurut istilah, ashl dapat berarti dalil.
Kata Fiqh itu sendiri menurut bahasa, berarti paham atau tahu. Sedangkan menurut istilah, sebagaimana dikemukakan oleh Sayyid Al Jurjaniy, pengertian fiqh yaitu:



Artinya: ilmu tentang hukum-hukum syara’ mengenai perbuatan dari dalil-dalilnya yang terperinci.
Sedangkan pengertian ushul fiqh sebagai rangkaian dari dua buah kata, yaitu dalil-dalil bagi hukum syara’ mengenai perbuatan-perbuatan dan aturan-aturan/ ketentuan-ketentuan umum bagi – pengambilan hukum-hukum syara’ mengenai perbuatan dari dalil-dalilnya yang terperinci.
PENGERTIAN HUKUM DAN PEMBAGIANNYA
a. Hukum
Menurut bahasa, hukum diartikan:


Artinya: Menenetapkan sesuatu atas sesuatu atau meniadakan sesuatu daripadanya.
Menurut istilah ahli Ushul Fiqh, hukum adalah:



Artinya: Kalam Allah yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf yang bersifat, memfasilitasi atau memilih.
Dengan memperhatikan pengertian hukum di atas, maka hukum itu ada yang mengandung tuntutan (suruhan atau larangan) dinamai hukum takliefy, hukum yang mengandung takhyir (kebolehan mengerjakan dan tidak mengerjakan) dinamai hukum takhyiriy, hukum yang menerangkan sebab, syarat, mani’, shah, batal, azimah dah rukhshah dinamai hukum wadl’iy.
Hukum dibagi menjadi tiga jenis:
1. Hukum Takliefy
Dari kalangan para ahli ushul Fiqh diperoleh keterangan, bahwa titah-titah agama tang masuk ke dalam takliefy ada empat macam yaitu:
a. Ijab (mewajibkan)
Yaitu titah yang mengandung suruhan yang mesti dikerjakan, umpamanya firman Allah:



Artinya: Sembahlah olehmu akan Allah. (An Nisaa’ :35)
Bekasan ijab disebut wujub dan pekerjaan yang dikenai hukum wujub disebut wajib.
b. Nadb (anjuran supaya dikerjakan)
Yaitu titah yang mengandung suruhan yang tidak musti dikerjakan, hanya merupakan anjuran melaksanakannya. Ketidakmustian dikerjakan itu diperoleh dari qarinah di luar suruhan itu, umpamanya firman Allah:



Artinya: Apabila kamu hutang dengan berjanji akan membayarnya pada ketika yang telah ditentukan, maka tulislah hutang itu. (Al Baqarah:282)
Suruhan menulis atau membuat keterangan tertulis tidak bersifat musti melainkan merupaka anjuran, sebab pada akhir ayat tersebut Allah berfirman lagi:



Artinya: Maka jika satu sama lain saling mempercayai, hendaknya si yang dipertaruhkan amanat kepadanya (yang berhutang) menunaikan amanat itu dan hendaklah ia takut kepada Allah. (Al Baqarah:283)
Titah yang serupa ini disebut nadb, bekasannya disebut nadb, dan pekerjaannya disebut mandub atau sunnat.
c. Tahrim (mengharamkan)
Yaitu titah yang mengandung larangan yang musti dijauhi, umpamanya firman Allah:



Artinya: Janganlah kamu mengatakan cis kepada ibu bapakmu (mencibirkan ibu bapakmu), dan janganlah kamu menghardik keduanya. (Al Israa’:23)
Titah ini dinamai tahrim, bekasannya disebut muhram, pekerjaannya dinamai haram, atau mahdhur.
d. Karohah (membencikan)
Yaitu titah yang mengandung larangan namun tidak musti dijauhi. Ketidakmustian kita menjauhinya itu diperoleh dari qarinah-qarinah yang terdapat di sekelilingnya yang merubah larangan itu dari musti ditinggalkan kepada tidak musti ditinggalkan, umpamanya firman Allah:



Artinya: Apabila kamu diseru kepada shalat jum’at di hari jum’at, maka bersegeralah kamu ke masjid untuk menyebut Allah (mengerjakan shalat jum’at) dan tinggalkanlah berjual beli. (Al Jumu’ah:9)
Dalam ayat ini perkataan tinggalkanlah berjual beli, sama artinya dengan jangan kamu berjualan, hanya saja karena larangan berjual beli di sini sebagai sebab di luar dari pekerjaan itu, maka larangan di sini tidak bersifat mengharamkan, melainkan hanya memakruhkan.
Titah semacam ini disebut karohah, bekasannya disebut karihah, pekerjaannya disebut makruh.



2. Hukum Takhyiry
Hukum takhyiry ialah titah yang memberikan hak memilih atau ibadah, yakni titah yang menerangkan kebolehan kita mengerjakan atau tidak mengerjakan pekerjaan yang dititahkan. Titah itu dinamai ibadah, sedangkan pekerjaannya dinamakan mubah. Misalnya: makan bisa saja menjadi wajib dll, tergantung dengan siapa dan memakai apa??
3. Hukum Wadl’iy
Hukum wadl’iy itu ada lima macam, yaitu:
a) Sebab, yaitu sesuatu hal yang diletakkan syara’ untuk sesuatu hukum karena adanya suatu hikmah yang ditimbulkan oleh hukum itu. Maksudnya sesuatu yang ada wujud pasti ada hukum, tapi jika belum ada wujudnya belum pasti ada hukum. Misalnya firman Allah:




Artinya:Maka barang siapa menyaksikan (melihat) bulan daripada kamu, maka hendaklah ia berpuasa. (Al Baqarah:185)
Contoh lain ialah terjadinya jual beli menjadi salah satu sebab adanya milik, juga menjadi sebab hilangnya milik.
b) Syarat, yaitu sesuatu keadaan atau pekerjaan yang karena ketiadaannya, menjadi tidak ada hukum masyrutnya. Misalnya sabda Rasulullah SAW:




Artinya:Allah tiada menerima shalat salah seorang di antara kamu bila dia berhadats sehingga ia berwudlu.
Berdasarkan hadits tersebut nyatalah bahwa suci dari hadats ditetapkan sebagai syarat bagi diterimanya shalat.
c) Mani’, yaitu titah yang menerangkan bahwa sesuatu itu menghalangi berlakunya (sahnya) sesuatu hukum, umpamanya sabda Rasulullah saw. :



Artinya:Janganlah seseorang itu menyepi dengan seseorang wanita kecuali ada mahram yang menyertainya.
Dalam hadits tersebut dinyatakan bahwa tidak adanya mahram menjadi penghalang bagi kebolehan laki-laki berkhalwat dengan wanita.
d) Sah, titah yang menerangkan sahnya suatu pekerjaan. Yaitu apabila kita diperintah mengerjakan suatu pekerjaan dan telah memenuhi sebab dan syaratnya serta terlepas dari penghalangnya, yakinlah kita bahwa pekerjaan itu telah menjadi sah, melepaskan diri dari tugas-tugas pelaksanaanya. Sesuatu dipandang sah adalah jika telah mencukupi rukun dan syaratnya yang tertentu.
e) Batal yaitu titah yang menerangkan bahwa sesuatu itu batal, tidak dipandang sah, tidak dihukum terlepas yang membuatnya dari tugas. Batalnya sesuatu pekerjaan itu karena tidak cukup rukun dan syaratnya, karena itu dituntut mengerjakannya lagi.
b. Al hakim
Menurut para ahli ushul, bahwa yang menetapkan hukum (Al Hakim) itu adalah Allah SWT, sedangkan yang memberitahukan hukum-hukum Allah ialah para Rasul-Nya. Beliau-beliau inilah yang menyampaikan hukum-hukum Tuhan kepada umat manusia.
Seluruh kaum muslimin bersepakat, bahwa tidak ada hakim selain Allah, sesuai dengan firman Allah:



Artinya:Tidak ada hukum melainkan bagi Allah. (Al An’aam:57)
c. Mahkum Bihi
Bahwa apabila perbuatan mukallaf yang menyangkut dengan masalah-masalah: ijab dinamai wajib, tahrim dinamai haram atau mahdhur, karohah dinamai makruh, dan ibadah dinamai mubah. Hukum-hukum tersebut dalam uruf ahli ushul disebut mahkum bihi, sedangkan tempat-tempat bergantung hukum disebut takliefy.


d. Mahkum ‘Alaih
Mahkum alaihi ialah mukallaf yang dibebani hukum. Untuk membebankan taklif hukum kepada mukallaf diperlukan beberapa syarat, sebagai berikut: islam, berakal, baligh.
SUMBER HUKUM
Sumber hukum syara’ ialah dalil-dalil syar’iyah (al adillatusy syar’iyah) yang daripadanya diistinbathkan hukum-hukum syar’iyah. Yang dimaksud dengan diistinbathkan ialah menentukan/mencarikan hukum bagi sesuatu dari suatu dalil.
Kata al adillah ( ) jama’ (plural) dari kata dalil, yang menurut bahasa berarti petunjuk kepada sesuatu. Sedang menurut istilah ialah sesuatu yang dapat menyampaikan dengan pandangan yang benar dan tepat kepada hukum syar’i yang ‘amali. Artinya dapat menunjuk dan mengatur kepada bagaimana melaksanakan sesuatu amalan yang syar’i dengan cara yang tepat dan benar.
Al adillah (dalil-dalil) ada yang naqliyah (yang dinukil) dan ada yang aqliyah (berdasarkan fikiran). Yang naqli itu yaitu al Kitab, As Sunnah, Al Ijma’ dan Al Urf, Syari’at orang-orang sebelum kita, dan madzhab Shahabi. Sedang yang aqli yaitu Al Qiyas, Al Mashalihal Mursalah, Al Istihsan dan Al Istishhab. Naqliyah dan aqliyah itu saling memerlukan.
Al Qur’an, As Sunnah dan Al Ijma’ merupakan sumber-sumber hukum yang berdiri sendiri, sedangkan Al Qiyas itu menjadi sumber apabila terdapat sumbernya di dalam Al Kitab, As Sunnah dan Al Ijma’ dan juga memerlukan mengetahui ‘illat hukum dari sesuatu yang asli.
A. AL KITAB
Kata Al Kitab menurut bahasa adalah tulisan. Sedangkan menurut istilah adalah:




Artinya:kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw yang dapat menjadi mu’jizat dengan hanya satu surat dan sebagai amal ibadah bila dibaca.
Isi Al Qur’an secara umum ada 3:
1) Ahkam (hukum-hukum)
2) Qisshoh (cerita)
3) Al Akhlaq (akhlaq)
B. AS SUNNAH
As Sunnah menurut bahasa artinya cara/sistem, baik cara itu Nabi Muhammad saw, atau juga lawan dari bid’ah. Adapun menurut istilah ulama Ushul As Sunnah itu ialah



Artinya:Apa yang dibekaskan oleh Nabi Muhammad saw, baik berupa ucapan, perbuatan maupun pengakuan.

Pembagian As Sunnah
Di ushul fiqh As Sunnah dibagi menjadi 3:
a) Mutawatir, yaitu sunnah yang diriwayatkan dari Rosulullah saw oleh sekelompok perawi yang menurut kebiasaannya perawi ini tidak mungkin bersepakat untuk berbuat bohong atau dusta.
b) Masyhur, yaitu sunnah yang diriwayatkan dari Rosulullah oleh seorang atau dua orang atau sekelompok sahabat Rasulullah yang tidak sampai pada kelompok tawatir (perawi hadits mutawatir), kemudian kelompok dari kelompok-kelompok tawatir itu meriwayatkan hadits atau sunnah tersebut dari satu orang perawi ini atau beberapa orang perawi.
Perbedaan antara sunnah yang mutawatirah dan sunnah yang masyhurah ialah yang mutawatir setiap lingkungan mata rantai sanadnya terdiri dari kelompok tawatir, sejak awal menerima dari Rasulullah hingga sampai kepada kita, sedang yang masyhur lingkungan mata ranttai sanadnya yang pertama bukanlah sekelompok di antara kelompok-kelompok tawatir, bahkan diterimanya oleh seorang atau dua orang atau sekelompok yang tidak sampai kepada tingkatan tawatir. Hanya saja keseluruhan lingkungan itu merupakan kelompok tawatir.
c) Ahad, yaitu sunnah yang diriwayatkan oleh satu orang atau dua orang atau kelompok yang keadaannya tidak sampai pada tingkatan tawatir. Hadits-hadits yang demikian biasanya disebut juga dengan khabarul wahid.
 , perbedaan antara apa yang diriwayatkan dengan yang diamalkan. Contoh: nikah tanpa wali.
 , sesuatu yang umum terjadi. Contoh: memegang kelamin batal.
 , Hadits ahad mengalahkan hukum standart. Contoh: khiyar majlis- dalam bisnis ada hak untuk putus selama belum deal.
HADITS MURSAL:hadits yang dikatakan oleh sahabat tanpa menyebut riwayatnya.
Fungsi Sunnah ada 3:
1) Menjelaskan aspek detail- Al Qur’an ada kemudian dijelaskan di dalam hadits. Contoh: Sholat- perintah sholat di Al Qur’an ada, tetapi detailnya ada di sunnah, seperti kapan waktu sholat, rekaatnya dll.
2) Menguatkan- teknisnya ada di Al Qur’an, tetapi prinsipnya ada di Sunnah. Contoh: li’an- sumpah ini semuanya dibicarakan di Al Qur’an, tetapi prinsipnya ada di Hdits.
3) Membuat- buatan hadits. Contoh: hukum anjing haram.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar